Pasanganku Tetap
Yang Terbaik
Pukul 4.05, alerm di hpku membangunkan.
Ia ikut bangun. Padahal, aku tahu baru pukul 23.30, ia bisa tidur setelah
berjibaku dengan kerjanya, kerja rumah tangga, mengurus anakku yg baru satu,
dan mengurusi aku sebagai suami. Belum lagi, pukul 01.15 terbangun untuk sebuah
interupsi.
Ups, rupanya ia lupa menyetrika baju
kantorku. Aku mandi, shalat lail dan shalat subuh. Ia selesai pula
menyelesaikan itu. Plus, satu stel pakaian kerjaku telah siap.
Aku siap berangkat. Ah, ada yang
tertinggal rupanya. Aku lupa memandangi wajahnya pagi ini. “bunda, kamu cantik
sekali hari ini,” kataku memuji.
Ia tersenyum. “ayah tebak sudah berapa
lama kita menikah?” Aku tergagap sebentar. Melongo. Lho, koq nanya itu. Hatiku membatin.
Aku berhenti sebentar dan menghitung sudah berapa lama kami bersama. Karena,
perasaanku baru kemarin aku datang ke rumahnya untuk meminangnya.”Lho, baru
kemarin aku datang untuk meminta kamu jadi isteriku dan aku nyatakan ‘aku
terima nikahnya dengan mas kawin sebagaimana tersebut tunai.” Kataku cuek
sembari mengaduk kopi hangat rasa cinta dan perhatian darinya.
Ia tertawa. Wuih, manis sekali. Mungkin,
bila kopi yang aku sruput tak perlu gula. Cukuplah pandangi wajahnya. “kita
sudah lima tahun ayah.” Katanya memberikan tas kerjaku.
“aku berangkat ya bund,
assalamualaikum,” kataku bergeming dari kalimat terakhir yang ia ajukan.
Aku buru-buru. “hati-hati yah dijalan.”
Sejatinya, aku ingin ngobrol terus. Sayang, aku di jalan bersama sejumlah
perasaan. Ada sesuatu yang hilang. Mungkin benar kata dewa, separuh nafasku
hilang saat kau tidak bersamaku. Kembali wajahnya menguntit seperti hantu. Hm,
cantiknya isteriku. Sayang, waktu tidak berpihak kepadaku untuk lebih lama
menikmatinya.
Sungguh, kala itu kupikir hanya wanita
bodoh saja yang mau menerimaku, seorang jejaka tanpa harapan dan masa depan.
Tanpa kerja dan orang tua mapan. Tanpa selembar modal ijazah sarjana. Tanpa
dukungan dari keluarga besar untuk menanggung biaya-biaya operasional.
Kehidupan harus terus berjalan. Kutarik
segepok udara untuk mengisi paru-paruku. Kurasakan syukur mendalam. Walau tanpa
kerja dan orang tua mapan, ‘kapal’ku terus berlabuh. Bahkan, kini sudah
mengarung lebih stabil dibanding dua dan tiga tahun pertama.
Ternyata, memang benar allah akan
menjamin rezeki seorang yang menikah. Allah akan memberikan rezeki dari arah
yang tidak terduga. Walaupun tetap semua janji itu muncul dengan sunatullah,
kerja keras. Kerja keras itu terasa nikmat dengan doa dan dampingan seorang wanita
yang rela dan ikhlas menjadi isteriku.
Namun, aku tahu wajah cantik isteri ku
mungkin akan memudar dengan segala kesibukan, mempersiapkan makanan untuk si
ayah dan dede, belum lagi mengurusi tetek bengek rumah tangga. Kelelahan seolah
menggeser kecantikan dan kesegarannya. Untunglah, saat aku pulang, ia bisa
mengembalikan semua keceriaan itu dengan seulas senyum yang menyelinap di balik
penat dan kelelahan.
Isteriku cantik sekali pagi ini. Maafkan
aku tak bisa menemanimu. Namun, doa dan ridhaku selalu bersamamu.
Sayangku, kumohon dekat di sini, temani
jasadku yang belum mati.
Lihatlah kekurangan sebelum memutuskan
menjadi pasangan, lihatlah kelebihan dan kebaikan sebelum memutuskan
perpisahan…